SEJARAH DAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA

 

 


A. Sejarah Bahasa Melayu

Bahasa diciptakan dan digunakan oleh manusia sebagai sarana penyampaian informasi dan alat komunikasi antarmereka. Sifat-sifat bahasa mencerminkan sifat-sifat manusia. Sebagaimana halnya tidak ada manusia yang seragam, bahasa pun juga tidak bersifat seragam. Keanekaragaman adalah sifat hakiki bahasa.

Keanekaragaman atau variasi bahasa itu terbukti dengan adanya berjenis-jenis dialek dan ragam yang dimilikinya. Dialek adalah variasi bahasa menurut pemakai bahasa, sedangkan ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian. Ada dialek temporal yang berbeda-beda karena bahasa berkembang dari waktu ke waktu; ada dialek regional, karena bahasa berbeda-beda menurut tempat penggunaannya, ada dialek sosial, karena penggunaannya berbeda-beda menurut usia, jenis kelamin, dan lingkungan kerjanya. Di samping itu, ada juga idiolek, yakni keseluruhan ciri-ciri bahasa seseorang, karena tiap orang mempunyai ciri khasnya masing-masing, baik dari segi lafalnya, gramatikalnya, maupun dalam pilihan kata-katanya. Tiap manusia menyesuaikan bahasanya menurut (1) apa yang dibicarakan, (2) dengan siapa dan tentang siapa ia berbicara, dan (3) medium yang digunakannya. Semua bahasa di dunia mempunyai dan ragam bahasa, tidak terkecuali bahasa Indonesia.     

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern. Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatra dan menyebar ke berbagai tempat di Nusantara berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan.

Istilah Melayu disebut juga Malaya yang berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, sebuah kerajaan Hindu-Buddha pada abad ke-7 di hulu sungai pulau Sumatra. Dalam perkembangannya, pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatra sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Malayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama. Berbagai batu tulis seperti (1) Prasasti Kedukan Bukit (683) dan Prasasti Talang Tuo (684) di Palembang, (2) Prasasti Kota Kapur (686) di Bangka Barat, dan (3) Prasasti Karang Brahi (688) di Merangi Jambi menggunakan teks bahasa Melayu Kuno. Selain ditemukan di Pulau Sumatra, beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno tersebut juga ditemukan di beberapa tempat di Pulau Jawa seperti di Gandasuli (832) Jawa Tengah, dan Prasasti Bogor (942) di Jawa Barat.

Pada abad ke-15, berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik. Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Namun, penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata bahasa Parsi seperti anggur, dewan, saudagar, tamasya, tembakau, dan lain-lain. Proses penyerapan tersebut masih berlangsung hingga sekarang.

Pada pertengahan abad ke-19 seorang bernama Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu bahasa Melayu dikatakan full-fledged yang artinya sama tinggi kedudukannya dengan bahasa-bahasa internasional, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.

Pada akhir abad ke-19 terdapat dua kelompok bahasa Melayu yang disebut masyarakat dengan nama bahasa Melayu rendah atau dikenal juga bahasa Melayu Pasar yang colloquial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya, tetapi memiliki standar bahasa. Bahasa Melayu Pasar dipergunakan dalam jual beli di pasar, yaitu sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) antarbangsa (Pribumi, Arab, Cina, India, Belanda, dan lain-lain) dan antarsuku (Jawa, Melayu, Sunda, Bali, Manado, Banjar, dan lain-lain). Bahasa Melayu Pasar digunakan juga oleh masyarakat Cina (peranakan) dan komunikasi maupun berkesusastraan yang dikenal “Sastra Melayu Tionghoa” (menurut Nio Joe Land, 1946). Sedangkan, bahasa Melayu Tinggi digunakan dalam pemerintahan Hindia Belanda, di sekolah-sekolah, dan penerbitan termasuk buku-buku, majalah-majalah dan almanak yang diusahakan oleh pemerintah Belanda.

Pada awal abad ke-20, perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia sebagai Hindia Belanda mengadopsi Ejaan Van Ophuijsen oleh Van Ophuijsen dibantu oleh Nawawi dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Pada tahun 1908, pemerintah colonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Vollkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan.

B. Sejarah Bahasa Indonesia

Kelahiran Bahasa Indonesia tidak terpisahkan dari Kebangkitan Nasional. Para perintis kemerdekaan tidak hanya memikirkan bagaimana merebut kekuasaan dari penjajah, melainkan juga bagaimana mengisi kemerdekaan dan menjadikan bangsa yang merdeka mempunyai kebudayaan yang bisa dibanggakan. Sejak awal tokoh-tokoh seperti Ki Hadjar Dewantara, Mohamad Tabrani, Soemanang, Soedarjo Tjokrosisworo, Sutan Takdir Alisjahbana, Poebatjaraka, Sanoesi Pane, Armijn Pane, dan para perintis kemerdekaan lain sudah memikirkan dan mengungkapkan pemikirannya bagaimana bangsa ini dapat memiliki bahasa yang bukan hanya berfungsi sebagai alat pemersatu komunikasi dalam bermasyarakat, tetapi juga berfungsi sebagai bahasa kebudayaan yang mencerminkan kedewasaan pemakainya dalam segala aspek kehidupan berbangsa.

Ketika mempersiapkan Kongres Pemuda pada tahun 1926, panitia sepakat tentang garis besar rumusan Sumpah Pemuda. Seseorang bernama M. Tabrani tiba-tiba mengusulkan supaya bahasa persatuan itu disebut Bahasa Indonesia, dan usulan itulah yang disetujui bersama pada tanggal 2 Mei 1926, walaupun diterima oleh M. Yamin dengan berat hati, dikarenakan M. Yamin masih memegang teguh bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Dari proses tersebut kemudian menghasilkan keputusan Kongres Pemuda Pertama 30 April sampai 2 Mei 1926. Adapun hasil Kongres Pemuda Pertama yang dihadiri oleh M. Yamin, M. Tabrani, Djamaloedin, Sanusi Pane, dan lain-lain ialah sebagai berikut:

Pidato M. Yamin yang menyatakan:

1.      “Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah yang satoe, tanah Indonesia;

2.      “Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe, bangsa Indonesia;

3.      “Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean Bahasa Melajoe.

Lantas ditanggapi oleh M. Tabrani:

“Nomer 1 dan 2 saya setuju, nomer 3 saya tolak, jalan pikiran saya kalau tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, maka bahasa persatuannya harus disebut Bahasa Indonesia dan bukan Bahasa Melayu”.

Yamin kemudian naik pitam dengan alasan: “Tabrani menyetujui seluruh pikiran saya, tetapi menolak konsep usul resolusi saya. Lagi pula yang ada bahasa Melayu, sedang bahasa Indonesia tidak ada, Tabrani tukang ngelamun”.

Tanggapan Tabrani: “Alasanmu Yamin betul dan kuat. Maklum lebih paham tentang bahasa daripada saya, namun saya tetap pada pendirian. Nama bahasa persatuan hendaknya bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Indonesia. Kalau belum ada harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini.”

Akhirnya keputusan condong ke arah pemikiran M. Tabrani dan M. Yamin selaku penulis dalam Kongres Indonesia Kedua menunaikan tugasnya dengan baik, dan inilah merupakan jasa dari M. Yamin. (Dikutip dari buku Harimurti Kridalaksana yang berjudul Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia) 

Hasil keputusan Kongres Pemuda Pertama kemudian dikukuhkan dalam Kongres Pemuda Kedua pada tanggal 27 sampai 28 Oktober 1928 berupa Sumpah Pemuda. Adapun hasil Kongres Pemuda Kedua ialah sebagai berikut:

Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia

Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan nama Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia, memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta;

Sesoedahnja mendengar pidato-pidato pembitjaraan jang diadakan di dalam kerapatan tadi;

Sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini, Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:

Pertama:         KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA;

Kedua:            KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA;

Ketiga:            KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATO-EAN, BAHASA INDONESIA.

Dari paparan di atas ada 2 tanggal yang penting bagi kita untuk diingat, yaitu tanggal 2 Mei 1926 dan 28 Oktober 1928. Pada tanggal 2 Mei 1926 ialah saat seseorang bernama M. Tabrani mengusulkan bahasa persatuan diganti dengan bahasa Indonesia sehingga disebut sebagai Hari Lahir Bahasa Indonesia. Sedangkan pada tanggal 28 Oktober 1928 saat Kongres Pemuda Kedua merupakan kesepakatan diresmikannya Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan Negara Republik Indonesia oleh M. Yamin yang juga dinamakan dengan Peristiwa Sumpah Pemuda.

Sejak kongres pemuda itulah kita mengenal 2 nama bahasa, yaitu bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Bahasa persatuan ialah bahasa Indonesia, namun, pemakaian Melayu tetap hidup subur dalam beberapa daerah seperti di Riau, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lain. Seiring dengan perkembangan zaman dan usaha Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Akhirnya, bahasa Indonesia diakui secara yuridis dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa Negara pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV, Pasal 36.

C. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum pasal khusus (Bab XV, Pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa bahasa Negara ialah bahasa Indonesia. Dengan kata lain, ada dua macam kedudukan bahasa Indonesia yaitu pertama, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai Sumpah Pemuda 1928; kedua, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:

1)      Lambang kebanggaan kebangsaan

Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia kita pelihara dan kita kembangkan serta rasa kebanggaan pemakainya senantiasa kita bina.

2)      Lambang identitas nasional

Bahasa Indonesia kita junjung di samping bendera dan lambang Negara kita. Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dan unsur-unsur bahasa lain.

3)      Alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarsuku bangsa.

Berkat adanya bahasa nasional, kita dapat berhubungan satu dengan yang lain sehingga kesalahpahaman sebagai akibat dari perbedaan latar belakang sosial dan budaya dapat diselesaikan dengan bahasa. Bepergian dari pelosok satu ke pelosok yang lain di Tanah air kita dengan memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.

4)      Alat pemersatu berbagai-bagai suku bangsa.

Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu berbagai-bagai suku bangsa sehingga mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Selain itu, dengan bahasa nasional, kita dapat meletakkan kepentingan nasional jauh di atas kepentingan daerah atau golongan. 

Selanjutnya, sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:

1)      Bahasa resmi kenegaraan

Bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara, peristiwa, pidato, dan kegiatan kenegaraan lain baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, termasuk kegiatan-kegiatan penulisan dokumen, putusan, serta surat-surat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya.

2)      Bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan

Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

3)      Alat perhubungan untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan

Bahasa Indonesia sebagai alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan pelaksanaan pemerintah. Selain itu, sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas yang sama latar belakang sosial budaya dan bahasanya.

4)      Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat kita untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Bahasa Indonesia juga dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan nilai-nilai sosial budaya nasional kita. Di samping itu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa media massa. Media massa cetak dan elektronik, baik visual, audio, maupun audiovisual. Media massa menjadi tumpuan kita dalam menyebarluaskan bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Komentar